waktukecil.com – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Indonesia menargetkan vaksinasi untuk Covid-19 akan dilakukan pada 107 juta orang dengan rentang usia 18-9 tahun.
Dari jumlah target penerima vaksinasi itu, hanya 30 persen di antaranya yang akan mendapatkan vaksin melalui program pemerintah, alias gratis.
Sisanya, sebanyak 70 persen, diproyeksikan dapat melakukan vaksinasi secara mandiri atau berbayar.
Beberapa rumah sakit swasta, seperti RSU Bunda Jakarta dan RS Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, diketahui sudah membuka pre-order untuk mendapatkan vaksin Covid-19 secara mandiri.
Direktur RS UII Yogyakarta, Widodo mengatakan, untuk harga vaksin berkisar antara Rp 450.000 sampai Rp 500.000 per dosis suntikan.
Sementara itu, informasi mengenai pre-order vaksin Covid-19 dari RSU Bunda Jakarta bisa dilihat di akun Instagram @rsubundajakarta
- Vaksin harus aman dan punya efektivitas yang memadai
- Angka reproduksi Covid-19 harus ditekan serendah mungkin, setidaknya 1
- Cakupan dari vaksinasinya mendekati 100 persen.
Seharusnya tak dikomersilkan
Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, dan epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, berpendapat, seharusnya tak ada komersialisasi vaksin Covid-19 di balik penetapan skema 70 persen vaksinasi berbayar.
Pandu mengatakan, selain penawaran pre-order vaksin yang dilakukan melalui media sosial, ada juga penawaran untuk mendapatkan vaksin Covid-19 yang sudah beredar secara bawah tangan alias sembunyi-sembunyi.
“Melalui WA (WhatsApp), ke kantor-kantor, terus karyawannya. Pokoknya sudah benar-benar bisnisnya itu udah kelihatan,” kata Pandu saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (12/12/2020).
Menurut Pandu, cara ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak benar-benar menargetkan vaksin untuk menangani pandemi Covid-19, tetapi sekaligus memulihkan ekonomi nasional melalui program vaksinasi.
“Memulihkan ekonomi. Jadi ekonomi ini kan akan bergulir kalau sebagian masyarakat spend money untuk beli vaksin. Kelihatannya arahnya ke sana,” kata Pandu.
Sementara itu, Dicky mengatakan, dalam situasi pandemi Covid-19 yang masih berlangsung dan sudah ditetapkan sebagai bencana nasional, seharusnya tak ada dasar bagi pemerintah untuk mengkomersilkan vaksin maupun terapi lainnya.
“Lha kita mau mengendalikan wabah, tapi kok malah jualan. Itu secara etika rasanya tidak pantas sama sekali,” kata Dicky saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (12/12/2020).
Dari sisi regulasi, menurut dia, vaksin Covid-19 akan masuk kategori imunisasi program khusus, yang berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi, ditanggung atau diselenggarakan oleh pemerintah.
“Kalau mau (komersil) cabut dulu status pandeminya, atau cabut dulu status bencana nasionalnya,” ujar Dicky.
Ia juga mengingatkan, vaksin Covid-19 sangat erat kaitannya dengan strategi herd immunity atau kekebalan kelompok untuk mengendalikan pandemi virus corona.
“Kekebalan kelompok ini punya prasyarat-prasyarat keberhasilan. Salah satunya adalah kesukarelaan dari masyarakat, dan (vaksin) digratiskan,” kata Dicky.
Dicky menyebut, ada tiga prasyarat yang harus dipenuhi agar strategi herd immunity bisa tercapai, yaitu:
Menurut Dicky, dengan berbagai masalah yang muncul selama berjalannya pandemi, termasuk ada kelompok masyarakat yang tak percaya Covid-19, maka akan sulit untuk mencapai cakupan vaksinasi yang optimal.
“Cakupan itu bisa karena orang sudah punya pemahaman ‘Enggak ada itu Covid-19’. Kan banyak sekarang yang merasa ‘Covid-19 ini bohongan’. Kelompok orang seperti ini tidak bisa diabaikan,” kata Dicky.
“Jangankan 10 persen, 1 persen kelompok orang seperti ini di satu wilayah bisa jadi masalah kok,” lanjut dia.
Biaya vaksin juga akan menjadi beban bagi masyarakat. Kriteria masyarakat miskin yang akan menerima vaksin gratis, menurut Dicky, belum jelas.
“Jadi akan ada juga kelompok yang boro-boro mau bayar (vaksin), karena untuk kehidupannya saja dia masih kesulitan,” kata Dicky.
Dicky mengatakan, dua faktor yang telah ia paparkan di atas merupakan beberapa alasan yang menjadikan vaksinasi pada masa pandemi seharusnya digratiskan.
“Kalau diprofitkan atau dikomersialkan, itu akan menjauhkan dari keberhasilan strategi vaksinasi itu sendiri,” kata Dicky.