Saya cukup yakin kaum “sholeh genetik” yang suka nyinyirin fenomena “hijrah” di kalangan anak muda urban itu gak tau banyak soal seberapa parah pergaulan anak muda di kota metropolitan macam Jakarta. Ya wajar aja sih, mereka kan kebanyakan latar belakangnya dari daerah pedesaan atau kota kecil yang masyarakatnya masih memegang teguh nilai-nilai agama. Daerah yang ahli maksiatnya sekalipun masih hormat sama kiai dan masih punya rasa malu ketika bermaksiat. Di daerah semacam itu sesekuler-sekulernya orang masih menjadikan agama sebagai patokan penting dalam masalah moral.
Baca Juga : Cara membuat Bubur dari Nasi Sisa Semalam
Ini berbeda sekali konteksnya dengan masyarakat urban kelas menengah atas di Jabodetabek. Mungkin inilah lapisan masyarakat yang paling terbaratkan di Indonesia hari ini, bukan hanya dalam gaya hidup tapi juga pandangan hidup. Makanya kalau ada orang-orang dari lapisan ini yang berubah jadi Muslim taat seharusnya disyukuri dan diapresiasi, terlepas masih banyak kekurangannya. Tapi ya kaum “sholeh genetik” tadi gak kepikiran sampai ke sana, mereka cuma lihat ujungnya saja, “baru tobat kok langsung ceramah?!”, “gak bisa baca kitab kuning kok berfatwa?!”, “baca Qur’an aja belum becus kok sok-sokan dakwah?!” dsb.
Butuh Informasi Update? Cek aja di jelajahviral.me
Dan pada akhirnya memang hidup itu sawang sinawang. Ketika orang-orang sekuler sudah bosan nakal, mereka yang “sholeh genetik” malah belajar nakal (yang secara ndakik-ndakik sering disebut “open minded”).